Sejarah Ekonomi Di masa Rasulullah Hingga Zaman Kontemporer
Makalah Sejarah Ekonomi Di masa Rasulullah Hingga Zaman Kontemporer
Author : Nizam AL ghifari
Makalah Perekonomian di masa rasulullah
Author : Nizam AL ghifari
KATA PENGANTAR
Puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-NYA sehingga Makalah Sejarah Ekonomi Di masa Rasulullah Hingga Zaman Kontemporer ini dapat tersusun hingga selesai . Sholawat juga salam semoga senantiasa di berikan kepada kekasih Allah, baginda nabi agung Muhammad SAW.
Sebelumnya kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya, harapan kami semoga Makalah Perekonomian di masa rasulullah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca dan semoga ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Qur’an dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Pemikiran merupakan sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-Qur’an dan Sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-Qur’an dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis.
Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Nabi Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan sejumlah kebijkan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqih), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah).
Setelah wafatnya Nabi kepemimpinan dipegang oleh Khulafa Urrasyidin, berbagai perkembangan, gagasan, dan pemikiran muncul pada masa itu. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang berbeda antar Khalifah itu sendiri, kebijakan-kebijakan itupun muncul sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru. Salah satunya pemenuhan kehidupan masyarakat di bidang ekonomi sehingga masalah teknis untuk mengatasi masalah-masalah perniagaan muncul pada waktu itu. Sejumlah aturan yang bersumberkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi hadir untuk memecahkan masalah ekonomi yang ada. Masalah ekonomi menjadi bagian yang penting pada masa itu.
Setelah perkembangan pemikiran ekonomi Islam pasca Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin, muncul perkembangan pada abad pertengahan yang dibagi menjadi 3 periode yang didasarkan atas nama tokoh ekonomi Islam tersebut hidup. Yaitu Ekonomi Islam periode awal Islam sampai 1058 M. Tokohnya antara lain : Zaid bin Ali (738), Abu Hanifa (798), Ibnu Farabi (950), Ibnu Sina (1037), dll, periode kedua dan, periode ketiga.
Dengan demikian, kajian historis dalam pemikiran ekonomi Islam adalah bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya.
Karena latar belakang inilah akhirnya penulis berkeinginan untuk mengambil tema dalam makalah yang akan penulis susun, dengan judul Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Periode Pertama 450H/1508M.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai :
- Bagaimana Sejarah Ekonomi di masa Rasulullah hingga zaman kontemporer?
- Siapa saja tokoh pemikiran ekonomi Islam pada periode pertama?
- Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada periode pertama?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
- Dapat mengetahui Sejarah Ekonomi di masa Rasulullah hingga zaman kontemporer
- Dapat mengetahui siapa saja tokoh pemikiran ekonomi Islam pada periode pertama;
- Dapat mengetahui bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada periode pertama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perekonomian di Masa Rasulullah Saw (571- 632 M)
Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip- prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap pemerataan kekayaan.
Sebagaimana pada masyarakat Arab lainnya, mata pencaharian mayoritas penduduk Madinah adalah berdagang, sebagian lainnya bertani, beternak, dan berkebun. Berbade dengan Makkah yang gersang sebagian tanah di Madinah relatif subur sehingga pertanian, peternakan dan perkebunan dapat dilakukan di kota ini. Kegiatan ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, dimana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam, Rasulullah mendirikan Al Hisbah untuk mengontrol pasar dan membentuk Baitul Maal untuk kesejahteraan masyarakat. Rasulullah mengawali pembangunan Madinah tanpa sumber keuangan yang pasti sementara distribusi kekayaan juga timpang. Sumber pemasukan negara barasal dari beberapa sumber tetapi yang palin pokok adalah Zakat dan Ushr. Secara garis besar pemasukan negara ini dapat digolongkan bersumber dari umat Islam sendiri berupa Zakat, Ushr (5-10%), Ushr (2,5%), Zakat Fitrah, Wakaf, Amwal Fadila, Nawaib, Shadaqah yang lain, dan Khumus. Dari non- muslim berupa Jizyah, Kharaj, dan Ushr (5%) dan umum berupa Ghanimah, Fay, Uang tebusan, pinjaman dari kaum muslim atau non- muslim, dan hadiah dari pemimpin atau pemerintah negara lain.
Sampai tahun ke-4 Hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari Banu Nadir, suatu suku yang tinggal di pinggiran Madinah. Kelompok ini masuk dalam piagam Madinah, tetapi mereka melanggar perjanjian sehingga mereka ditaklukkan dan dipaksa meninggalkan kota. Semua milik Banu Nadir yang ditinggalkan dan dibagikan kepada kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang miskin.
Harta rampasan perang juga merupakan pendapatan negara, meskipun nilainya relatif tidak besar jika dibandingkan dengan biaya peperangan yang dikeluarkan. Zakat dan Ushr merupakan sumber pendapatan pokok, terutama setelah tahun ke-9 H dimana zakat mulai diwajibkan kecuali perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, dan orang yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
Beberapa sumber pendapatan yang tidak terlalu besar berasal dari beberapa sumber, misalnya: tebusan tawanan perang, pinjaman dari kaum muslim, khumuz atau rikaz (harta karun temuan pada periode sebelum Islam), amwal fadhla (harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris), wakaf, nawaib (pajak bagi muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, zakat fitrah, kaffarat (denda atas kesalahan yang dilakukan seorang mislim pada acara keagamaan), maupun sedekah dari kaum muslim.
B. Periode Kontemporer (1930- sekarang)
Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara- negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya. Khurshid membagi perkembangan ekonomi Islam kontemporer menjadi empat fase yaitu:
a. Fase Pertama
Pertengahan 1930-an banyak muncul analisis masalah ekonomi sosial dari perspektif Islam sebagai wujud kepedulian terhadap dunia Islan yang secara umum dikuasai oleh negara- negara Barat. Meskipun kebanyakan analisis ini berasal dari para ulama yang tidak memiliki pendidikan formal bidang ekonomi , namun langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi.
b. Fase Kedua
Pada tahun 1970-an banyak ekonom muslim yang berjuang keras mengembangkan aspek tertentudari ilmu ekonomi Islam, terutama dari sisi moneter. Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga. Konferensi internasional pertama diadakan di Makkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul Konferensi Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London, Inggris pada tahun 1977. Sejak itu banyak karya tulis yang dihasilkan dalam wujud makalah, jurnal ilmiah hingga buku, baik yang dipresentasikan dalam pertemuan- pertemuan internasional maupun yang diterbitkan secara khusus.
c. Fase Ketiga
Perkembangan ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga dimana banyak berisi upaya- upaya praktikal- operasional bagi realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bank- bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara- negara muslim maupun di negara- negara non- muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim (dan karenanya terus disempurnakan) langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.
d. Fase Keempat
Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah pembahasan yang lebih integral dan komprehensif terhadapteori dan praktik ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam. Dari sisi teori dan konsep yang terpenting adalah membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi. Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan disini. Dari sisi praktikal adalah bagaimana kinerja lembaga ekonomi yang telah (misalnya bank tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya, serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan teori ekonomi Islam. Pada awalnya, perkembangan ini diawali oleh kiprah para ulama (yang kebanyakan tidak didukung pengetahuan ekonomi yang memadai) dalam menyoroti berbagai persoalan sosial ekonomi saat itu dari perspektif Islam.
Zarqa membagi topik- topik kajian dari para ekonom dimasa ini menjadi tiga kelompok tema, yaitu:
- Perbandingan sistem ekonomi Islam dengan ekonomi lainnya, khususnya kapitalisme dan sosialisme
- Kritik terhadap sisten- sistem ekonomi konvensional, baik dalam tataran filosofi maupun praktikal
- Pembahasan yang mendalam tentang ekonomi Islam itu sendiri, baik secara mikro maupun makro
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama ini antara lain diwakili oleh Zaid bin Ali (w. 80H/38M), Abu Hanifah (w. 150H/767M), Abu Yusuf (w. 182H/798M), Al-Syaibani (w. 189H/804M), Abu Ubaid bin Sallam (w. 224H/383M), Harits bin Asad Al-Muhasibi (w. 243H/858M), Junaid Al-Baghdadi (297H/910M), Ibnu Miskawaih (w. 421H/1030M), dan Al-Mawardi (450H/1050M).
Peride pertama merupakan periode abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai periode dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha, diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya pemikirannya mereka berasal dari orang yanng berbeda, tetapi di kemudian hari para ahli harus mempunyai dasar pengetahuan dasar dari ketiga disiplin ilmu tersebut.
Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan oleh syariah, dan dalam konteks ini para fukaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits mereka mengeksplorasi konsep maslahah dan mafsadah yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritasnya bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan dalam kaitannya dengan permasalahan dunia.
Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah Swt., dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu filosof Muslim dengan tetap berasaskan syariah dalam keseluruhan pemikirannya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (367-322 SM), yang fokus pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas. Pendekatannya global dan raional, serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif dan cenderung makroekonomi. Dan hal ini berbeda dengan para fukaha yang fokus perhatiannya pada masalah-masalah mikroekonomi.
e. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Pada Periode Pertama
Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Zaid bin Ali merupakan salah satu ahli fiqih yang terkenal di Madinah dan cucu dari Imam Husein serta merupakan seorang guru dari ulama terkemuka Abu Hanifah. Zaid bin Ali memperbolehkan penjualan suatu komiditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai, selama transaksi yang dilakukan dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah pihak. Karena pada dasarnya keuntungan yang diperoleh para pedagang dari penjualan secara kredit adalah murni bagian dari sebuah perniagaan dan tidak termasuk riba.
Namun, beliau tidak memperbolehkan pengambilan keuntungan dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman. Setiap penambahan terhadap penundaan pembayaran adalah riba. Sebagaiman firman Allah dalam surat An-Nisaa’( 4) ayat 29 :” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka dia ntara kamu”. Karena dalam hal ini peminjam memperoleh suatu aset yakni uang, yang harganya tidak mengalami perubahan karena uang sendiri merupakan standar harga. Dengan kata lain, uang tidak dengan sendirinya menghasilkan sesuatu, kecuali melalui perniagaan.
Abu Hanifah (80-150 H/767 M)
Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat aktivitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Abu Hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak/akad disepakati. Abu Hanifa mengkritisi prosedur akad tersebut yang cenderug mengarah pada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dahulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci kontrak, seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan pengiriman.
Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungan dengan jual beli. Pengalamannya di bidang perdagangan juga memungkinkan Abu Hanifah dapat menentukan aturan-aturan yang adil dalam transaksi ini (salam) dan transaksi-transaksi lainnya yang sejenis. Abu Hanifah sangat memperhatikan pada orang-orang lemah. Beliau tidak akan membebaskan kewajiban zakat terhadap perhiasan, dan sebaliknya membebaskan pemilik harta yang dililit utang dan tidak sanggup menebusnya dari kewajiban membayar zakat. Ia juga tidak memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah tidak menghasilkan apapun. Hal ini untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.Beberapa karya yang dihasilkan antara lain : Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, sebuah kitab hadist yang dikumpulkan oleh para muridnya dan Al-Fiqh Al-Akbar.
Abu Yusuf (113 – 182 H/731 – 798 M)
Abu Yusuf terkenal sebagai Qadi ( hakim ). Diantara kitab-kitab Abu Yusuf yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern. Abu Yusuf juga cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari pada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam hal pajak, Ia telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Beberapa prinsip yang ditekankannya yakni meliputi kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentrallisasi bagi pembuatan keputusan dalam adminisrasi pajak. Abu Yusuf juga dengan keras menentang pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah korupsi dan praktik penindasan.
Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf adalah pada masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa menetapkan harga, dengan didasarkan pasa Sunnah Nabi Muhammad saw. Beliau menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan alasan untuk mennurunkan harga panen, dan sebaliknya. Namun, di sisi lain Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintan dan penawaran dalam penentuan harga. Kecenderungan dalam pemikiran ekonomi Islam adalah membersihkan pasar dari praktik penimbunan, monopoli, dan praktik korup lainnya dan kemudian membiarkan permintaan dan penawaran menentukan harga. Kecenderungan dalam pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Ia memberikan beberapa saran tentang cara memperoleh sumber pembelanjaan jangka panjang, seperti pembanguan jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-804 M)
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Al-Syaibani para ekonom Muslim banyak merujuk pada kitab al-Kasb, yang isinya mengenai kasb (pendapatan) dan sumbernya, serta perilaku produksi dan konsumsi. Kitab tersebut termasuk kitab yang pertama di dunia Islam yang membahas permaslahan tersebut. Oleh karena itu, Dr. Al-Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai seorang perintis ekonomi Islam.Beberapa pemikiran ekonominya antara lain sebagai berikut:
f. Al-Kasb (Kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-kasb sebgai cara memperoleh harta melalui cara yang halal (aktivitas produksi). Aktivitas produksi dalam ekonomi Islam tentulah berbeda dengan ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat berkaitan erat dengan halal-haramnya suatu bararang atau jasa. Kegiatan produksi dimaksudkan untuk meningkatkan nilai guna suatu barang atau jasa. Sedangkan Islam memandangnya lebih jauh, yakni suatu barang atau jasa akan mempunyai nilai guna apabila mengandung kemaslahatan.
g. Kekayaan dan Kefakiran
Menurutnya sekalipun banyak dalil yang menunjukan keutamaan sifat-sifat kaya, tapi sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dengan kebutuhannya, kemudian bergegas pada kebajikan dan mencurahkan perhatian paada urusan akhirat adalah lebih baik bagi mereka. Dalam hal ini sifat-sifat fakir maksudnya adalah sebaagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafayah). Sifat-sifat kaya berpotensi menimbulkan kemewahan bagi pemiliknya. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.
h. Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Menurut Al-Syaibani usaha-usaha perekonomian terbagi menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan industri. Diantara ke-empatnya beliau lebih mengutamakan pertanian karena memproduksi sebagian kebutuhan dasar manusia yang menunjang untuk melaksanakan kewajibannya.
i. Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan mampu berdiri kecuali dengan empat perkara; makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Jika empat hal itu tidak diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut. (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 10)
j. Spesialisasi dan Distribusi Pekejaan
Al-Syaibani menandaskan bahwa yang fakir membutukan orang kaya, dan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut manusia akan semakin mudah dalam menjalankan ibadah kepada-Nya. Dan apabila seseorang tersebut bekerja karena ketaatan kepada Allah atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, niscaya itu semua akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian distribusi pekerjaan seperti ini merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan ekonomis.
Abu Ubaid (150-224 H)
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Salah satu karyanya yaitu Kitab al-Amwal. Berikut ini adaalah beberapa pandangan ekonomi dari Abu Ubaid:
a. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utamanya. Tulisan-tulisan Abu Ubaid pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah menitik beratkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu kebijakan dalam memutuskan suatu perkara. Beliau juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalah gunakan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
b. Dikotomi Badui-Urban
Dikotomi ini dilakukan ketika menyoroti masalah alokasi pendapatan fai. Singkatnya Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik ini hanya Allah berikan kepada kaum urban. Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar yang telah diberikan kaum urban, dan tidak bisa memperoleh manfaat pendapaan fai sebanyak kaum urban. Mereka hanya mendapatkan hak klaim sementara atas penerimaan fai hanya pada saat terjadi invansi musuh, kemarau panjang, dan kerusuhan sipil.
c. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Akan tetapi untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh dimonopoli oleh pihak individu. Seperti air, padang rumput, dan api, seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
d. Pertimbangan Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata antara delapan kelompok penerima zakat. Baginya yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan. Namun Abu Ubaid tidak memberikan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lain yang setara. Beliau mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat; kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak kena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat.
e. Fungsi Uang
Pada prinsipnya Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Ia juga mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Salah satu ciri khas kitab al-Amwal adalah pembahassan mengenai timbangan dan ukuran yang bisa digunakan untuk menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Di dalam bab ini juga Abu Ubaid menceritakan tentang usaha khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.
Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M)
Salah satu pandangan Ibn Miskawaih yang terkait dengan aktivitas ekonomi adalah tentanng pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja sama dan saling membantu dengan sesamanya. Oleh karena itu mereka akan saling mengambil dan memberi.Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompensasi yang pantas. Sebagai contoh, jika tukang sepatu memakai jasa tukang cat dan ia memberikan jasanya sendiri, ini akan menjadi reward jika kedua karya tersebut seimbang. Dalam hal ini, dinar akan menjadi suatu penilai dan penyeimbang di antara keduanya.Lebih jauh, ia menegaskan bahwa logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang, dan fakta orang senang melihatnya.
Al-Mawardi (364-450 H/974-1058 M)
Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di kota Basrah pada tahun 364 H/974 M. Beliau adalah seorang hakim, namun juga tetaap aktif mengajar dan menulis. Ia meninggal pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H/1508 M di kota Baghdad dalam usia 86 tahun dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga. Pada dasarnya pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisnya, yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi, dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Ia memaparkan tentang perilaku seorang Muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, perternakan, perdagangan dan industri. Dalam Kitab Al-Hawi, di salah satu bagiannya, Al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam Kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran negara, serta institusi hisbah. Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi Islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa Kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam merepresentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi Al-Mawardi. Dalam kitabnya tersebut, Al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan negara kecara khusus, pada bab 11, 12, dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta sedekah, harta fai dan ghanimah, serta harta jizyah dan kharaj. Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan bahwa Al-Mawardi membahas masalah-masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis dan runtut. Sumbangan utama Al-Mawardi terletak pada pendapatnya tentang pembebanan pajak tambahan dan diperbolehkannya pinjaman publik.
DAFTAR PUSTAKA
Karim. Adiwarman Azwar. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Tim Penulis Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIIY, 2008, Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA
Terimakasih telah membaca makalah Sejarah Ekonomi Di masa Rasulullah Hingga Zaman Kontemporer, silahkan contac admin untuk mendapatkan makalah ini.