Penggunaan Alat Tangkap Bubu Lipat Dalam Usaha Penangkapan Rajungan
Makalah Dasar dasar manajemen perikanan tentang Penggunaan Alat Tangkap Bubu Lipat Dalam Usaha Penangkapan Rajungan ( Portunuspelagicus) ini kami susun dalam rangka tugas dari dosen, semoga ini bisa bermanfaat bagi anda yang sedang mencari cara Penggunaan Alat Tangkap Bubu Lipat Dalam Usaha Penangkapan Rajungan
Penggunaan Alat Tangkap Bubu Lipat Dalam Usaha Penangkapan Rajungan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikanan merupakan salah satu bidang yang diharapkan mampu menjadi penopang peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sub sektor perikanan dapat berperan dalam pemulihan dan pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia karena potensi sumberdaya ikan yang besar dalam jumlah dan keragamannya. Selain itu, sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga dengan pengelolaan yang bijaksana, dapat terus dinikmati manfaatnya.
Salah satu hasil dari sumber daya di laut indonesia yang sangat bernilai jual tinggi baik dalam pasar dalam negeri maupun luar negeri adalah rajungan. Permintaan pasar terhadap komoditas hasil laut dari jenis rajungan kian melejit tanpa mengenal surut. Di beberapa negara Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Australia, komoditas rajungan tetap menjadi konsumsi penting sehingga merupakan pangsa pasar ekspor yang strategis dengan nilai jual yang tinggi. Komoditas rajungan dari dalam negeri hasil penangkapan ikan mendominasi produk untuk ekspor.
Kegiatan penangkapan rajungan dapat dilakukan dengan berbagai jenis alat penangkapan yang selama ini telah berkembang, terutama dari kelompok jaring
Macam macam jaring penangkap ikan di antara nya adalah :
- Jaring klitik
- Trammel-net
- Gill-net
Macam macam pukat penangkap ikan di antara nya adalah :
- Cantrang
- Dogol
- Trawl
Cara ini di atas kurang ramah lingkungan (kurang selektif) juga kualitas hasil tangkapanya lelatif rendah (umumnya mati dan rusak). Dari aspek sumberdaya, cara ini jelas berdampak pada pemborosan sumberdaya karena rajungan merupakan hasil sampingan yang sering sia-sia dan yang tertangkap menjadi tidak bernilai meski dalam jumlah besar.
Disamping itu metode penangkapan tersebut cenderung akan merusak habitat dan komunitas rajungan pun menjadi cepat berkurang. Seiring itu telah pula berkembang dikalangan nelayan jenis alat tangkap bubu (Traps). Alat tangkap ini bersifat pasif, dipasang pada perairan pantai yang dioperasikan secara berangkai. Menyesuaikan perilaku rajungan yang cenderung lebih aktif pada malam hari maka pengoprasian Bubu rajungan pun dilakukan pada malam hari.
1.2 Pendekatan Masalah
Teknologi penangkapan ikan dengan mengunakan bubu banyak dilakukan di hampir seluruh dunia mulai dari yang skala kecil, menengah sampai yang sekala besar. Untuk skala kecil dan menengah banyak dilakukan di perairan pantai di hampir seluruh negara yang masih belum maju sistem perikanannya.
Penangkapan ikan dengan alat tangkap Bubu rajungan pada umumnya sering dilakukan oleh nelayan kecil karena alat tangkap ini bersifat pasif dan lebih selektif. komoditas hasil tangkapan Bubu juga telah menjadi incaran para pengusaha produksi (pedagang/tengkulak) rajungan terutama untuk tujuan ekspor, karena permintaan pasar ekspor daging rajungan semakin meningkat, maka rajungan (Portunus pelagicus) kemudian menjadi salah satu komoditas perikanan andalan setidaknya di beberapa daerah seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan.
Berdasarkan pendekatan masalah tersebut maka perlu untuk dilakukan pendataan maupun pengamatan berbagai aspek yang dilakukan nelayan tersebut seperti halnya metode penangkapan, penentuan daerah penangkapan dan hasil tangkapan, sehingga pengkontrolan produktifitas alat tangkap ini dapat terkendali.
1.3. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang serta pendekatan masalah, maka dapat di buat rumusan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana karakteristik, habitat dan daerah penyebaran rajungan di indonesia?
- Bagaimana kebiasaan makan serta alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan ( Portunus pelagicus)?
- apa bahan serta bagaimana kontruksi dan cara mengoperasikan dari alat tangkap bubu (Traps)?
- Apa saja produk olahan rajungan ( Portunus pelagicus) serta bagaimana distribusi pemasaran produknya?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik, habitat dan daerah penyebaran rajungan ( Portunus sp.) di Indonesia
Ciri-ciri morfologi kepiting rajungan (Portunus pelagicus) adalah sebelah kiri dan kanan karapaksnya terdapat duri yang besar. Duri-duri sisi belakang matanya berjumlah sembilan buah (termasuk duri besar). Rajungan jantan karapaksnya berwarna dasar biru ditaburi bintik-bintik putih yang beraneka ragam bentuknya. Sedangkan yang betina berwarna dasar hijau kotor dengan bintik-bintik seperti jantan.
Berikut klasifikasi kepiting rajungan :
Kingdom : Animalia
Filum : Artropoda
Sub filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Brachyura
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
Rajungan (Portunus pelagicus.) memiliki habitat yang agak sedikit berbeda dengan kepiting bakau (Scylla sp.). Jenis kepiting perenang ini banyak dijumpai pada perairan dengan salinitas yang lebih tinggi dibandingkan Scylla sp. meskipun pada beberapa tempat juga dapat beradaptasi untuk hidup pada daerah muara dengan adanya percampuran air tawar dan air laut. rajungan sering pula berupaya mencari makan hingga kedalaman rendah sekitar 1 m dan ditemukan pula pada habitat yang lebih dalam lagi sekitar 56 m. Kepiting perenang ini memiliki kebiasaan untuk membenamkan diri (burrowing) pada dasar pasir atau lumpur dan tetap siaga untuk menangkap mangsa.
spesies ini dapat hidup pada berbagai habitat seperti pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur, pasir putih berlumpur dengan rumput laut di selat-selat, dipulau berkarang, dan dapat pula ditemukan di daerah bakau, di dasar tambak yang berdampingan dengan air laut. Rajungan termasuk dalam golongan spesies eurihaline karena kebutuhan hidupnya pada salinitas yang berkisar antara 30-40 ppt, dengan toleransi temperatur 15-25°C.
Indonesia merupakan daerah yang menjadi habitat nyaman bagi spesies ini, sehingga tidak mengherankan apabila kepiting perenang ini dapat dengan mudah dijumpai di daerah pesisir di negara kepulauan ini. Distribusi spesies komersil ini dapat diketahui dari nelayan yang sering melakukan penangkapan atau secara tidak sengaja terperangkap ke dalam jaring. Beberapa daerah potensial seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumba, Laut Jawa, Lampung, Medan, Kalimantan Barat dan Kepulauan di Maluku dan Papua telah mengenal dengan baik spesies ini ( Setiyowati, 2016 ).
2.2 Kebiasaan makan serta alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Sebagaimana halnya dengan kerabatnya, yaitu kepiting bakau, di alam makanan rajungan juga berupa ikan kecil, udang-udang kecil, binatang invertebrata, detritus dan merupakan binatang karnivora. Rajungan juga cukup tanggap terhadap pembeian pakan furmula/pellet. Sewaktu masih stadia larva, hewan ini merupakan pemakan plankton, baik phyto maupun zooplakton.
Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m pada daerah pasir, lumpur atau pantai berlumpur. Rajungan merupakan binatang karnivora makanan rajungan berupa ikan dan binatang invertebrata. Kepiting pada fase megalopa bersifat karnivora dan memakan zooplankton. Pada fase muda memakan larva-larva ikan dan sejenisnya, setelah dewasa bersifat omnivorous scavenger (pemakan segala dan bangkai), tetapi sebagai makanan kebiasaannya adalah bangkai binatang dan bahan organik lainnya. Kepiting juga sering memakan mollusca dan jenis crustacea lainnya terutama udang-udang kecil.
Alat tangkap yang dapat digunakan untuk menangkap rajuangan adalah bubu (Traps).Bubu merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya mirip dengan jenis alat perangkap lainnya. Bubu yang terbuat dari bahan besi kawat galvanis untuk rangkanya, dilapisi jaring PE pada bagian tubuh bubu, disulam atau di jurai dengan benang d6 biasanya digunakan nelayan tradisional.Bubu dapat dipasang sampai kedalaman lebih dari 40 meter sedangkan perangkap tradisional hanya mencapai kedalaman tiga meter. Selain sebagai alat tangkap ramah lingkungan karena perairan pantai tetap terjaga, jaring bubu juga menciptakan kerjasama antar nelayan sehingga mengurangi konflik yang timbul akibat perebutan wilayah penangkapan.Perekonomian nelayan juga meningkat karena hasil tangkapan yang diperoleh dalam kondisi segar dan dapat dijual dengan harga tinggi, Cara kerja jaring bubu, menurutnya sangat mudah karena nelayan hanya menaruh umpan ditempat pengait lalu dikancing, jaring bubu dimasukan ke laut dan rajungan pun masuk ke perangkap, sehingga Rajungan dalam kondisi segar dapat dipanen setiap hari ( Amriasyah et al., 2015).
2.3 Kontruksi dan cara mengoperasikan dari alat tangkap bubu lipat (Traps)
Bubu rajungan/ bubu lipat merupakan perkembangan dari konstruksi bubu yang awalnya dirancang tetap. Bubu jenis ini dibuat dari jaring dengan rangka besi dengan rancangan yang dapat dilipat atau dikendurkan. Keuntungan dari konstruksi yang dapat dilipat adalah bubu dapat diangkut dengan jumlah yang besar di dalam perahu, sehingga pengangkutan ke fishing ground lebih efisien. Konstruksi bubu rajungan terdiri dari beberapa bagian antara lain : badan bubu, kerangka, mulut atau inep-inep, tali utama, tali cabang, pemberat, tali pemberat ( Iskandar , 2013).
Metode pengoperasian alat tangkap bubu rajungan :
a. Persiapan
persiapan yang dibutuhkan dalam pengoperasian bubu rajungan adalahperbekalan sampai umpan. Bubu yang sudah ada di atas perahu dipasang umpan yaitu menggunakan kepala ikan mata besar (Lutjanussp)dan ikan petek(Leiognathus sp). Setiap bubu dipasang umpan 1-2 ikan tergantung ukuran ikan. Kepala ikan dikaitkan atau ditusukkan ke pengait yang ada di dalam bubu lipat. Bubu yang sudah terpasang umpan diletakkan atau disusun di bagian tengah perahu dan sebagian ada juga yang belakang. Untuk pemasangan umpan menghabiskan waktu ± 1 jam, pemasangan umpan dimulai pukul 16.00 WIB sampai 17.00 WIB. jumlah bubu yang digunakan sebanyak 400 buah, tali utama panjangnya 4000 m, tali cabang panjangnya 3 m dan jarak antar tali cabang 10 m dengan bendera kecil sebagai penanda pada ujungnya.
b. Penurunan bubu
Perahu berjalan menuju fishing ground dengan kecepatan 6-7.5 knot, perjalanan membutuhkan waktu 3 jam. Tiba di fishing ground pukul 07.00. kecepatan perahu diturunkan menjadi 1.5 knot kemudian bubu diturunkan satu persatu sampai selesai, penentuan fishing ground hanya menggunakan pengalaman nelayan sehari-hari. Sebelum melakukan penurunan bubu, nelayan mencari daerah fishing ground sesuai insting dan data keberadaan tangkapan dari nelayan yang sudah selesai melakukan penangkapan.
c. Perendaman (Immersing)
Perendaman dilakukan selama 1 hari yaitu dari jam 07.00 WIB sampai 07.00 WIB.
d. Penarikan (Hauling)
penarikan bubu (Hauling) yang pertama nelayan ditarik adalah pemberat kemudian baru bubunya. Setelah wuwu terangkat keatas perahu bubu dibuka dan diambil hasil tangkapannya sambil menata bubu pada perahu dengan melakukan langsung penaruhan unban baru untuk lebih mudah dalam melakukan setting kembali setelah bubu (traps) terangkat semua. Hasil tangkapan diletak pada basket yang telah sediakan. Bubu yang sudah terangkat disusun kembali dengan keadaan terlipat.
2.4 Produk olahan rajung, distribusi serta pemasaran produknya.
Daging rajungan matang dapat dijadikan sebagai bahan baku pasteurisasi yang di kemas dalam kaleng untuk tujuan ekspor. Rajungan yang dapat di pasarkan ke luar negeri adalah yang memiliki kualitas sangat baik atau first grade. Rajungan adalah komoditi ekspor yang dipasarkan ke negara Amerika dengan bentuk produk kaleng daging rajungan.Pengelompokan atau grading daging rajungan dilakukan pada saat rajungan dikupas di mini plantdimana gradedagingnya dibagi menjadi 7 bagian, antara lain Jumbo Collosal, Jumbo, Jumbo Undersize, Super Lump, Lump, Backfin, Special, Clawmeat, dan Cocktail Claw. Harga yang paling mahal adalah grade Jumbo Collosal yang harganya bisa mencapai hampir Rp 200.000,-, sedangkan yang termurah adalah pada grade Cocktail Clawyang harganya berkisar pada kurang lebih Rp 70.000 per kaleng ( Primyastanto dan Muntaha , 2016 ).
Alur distribusi rajungan dimulai dari produsen yang merupakan nelayan penangkap rajungan yang kemudian hasil tangkapannya di jual kepada pedagang pengumpul yang ada di sekitar fishing base.
Menurut Agustina et al.(2014) Penerimaan dan net income (laba bersih) terbesar diperoleh nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu lipat, yaitu dengan laba bersih mencapai Rp 12.086,-/kg per trip. Namun laba ini dibagi dua antara juragan perahu sebagai juru mudi dan ABK dengan persentase 60% : 40% .
Pedagang pengumpul memiliki mitra yang menjualkan hasil tangkapan. Nelayan akan menjualkan hasil tangkapannya kepada pedagang pengumpul tersebut atas dasar hubungan patron-klien. Kemudian terdapat Mini plant yang merupakan lembaga pemasaran yang aktif membeli rajungan matang (yang telah dikukus) dari pedagang pengumpul untuk dijual kepada perusahaan eksportir dalam bentuk rajungan yang telah dikupas dari cangkangnya (berupa daging). Lalu , dilanjutkan ke Eksportir yang merupakan lembaga pemasaran yang aktif membeli rajungan dari mini plant yang tersebar di berbagai daerah. Eksportir mempunyai resiko tinggi dari lembaga pemasaran lainnya karena bertanggung jawab atas pengawasan mutu daging rajungan dalam bentuk pasteurized crab meat yang harus memenuhi standar ekspor.
Pengawasan mutu wajib dilakukan karena faktor dari sifat produk perikanan yang mudah rusak dan rawan terhadap penurunan mutu.Eksportir melakukan proses pengolahan daging rajungan dalam produk kaleng (pasteurized crab meat) sebagai komoditas utama sesuai dengan permintaan konsumen di Amerika. Yang terakhir adalah konsumen yang merupakan pihak pembeli produk untuk pemenuhan kebutuhan. Konsumen berhak memutuskan untuk melakukan pembelian terhadap produk tersebut sesuai dengan kebutuhan, pendapatan, mutu dan harga produk.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di peroleh dari pembahasan masalah pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut :
- Rajungan merupakan salah satu komoditi ekspor utama dari hasil penangkapan ikan di Indonesia.
- Habitat rajungan adalah pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur, pasir putih berlumpur dengan rumput laut di selat-selat, dipulau berkarang, dan dapat pula ditemukan di daerah bakau, di dasar tambak yang berdampingan dengan air laut.
- Alat tangkap yang ramah lingkungan serta tidak merusak hasil tangkapan rajungan adalah bubu rajungan / bubu lipat
- Alur distribusi dari penjualan rajungan dimulai dari produsen (nelayan penangkap), lalu ke pedagang pengumpul, di lanjutkan ke mini plant, kemudian ke eksportir, dan yang terakhir adalah kepada konsumen.
3.2 Saran
Saran yang dapat di berikan berdasarkan pembahasan masalah pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut :
- Sebaiknya pencarian lokasi untuk peletakan bubu sudah menggunakan GPS dan tidak hanya mengandalkan insting/ intuisi nelayan saja
- Sebaiknya proses pengalengan untuk daging kepiting rajungan yang di ekspor lebih dijaga dan di lakukan hati-hati supaya tidak ada kekurangan yang menyebabkan kegagalan ekspor.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, E.R., A.K. Mudakir dan T. Yulianto. 2014 . Analisis Distribusi Pemasaran Rajungan (Portunus Pelagicus) Di Desa Betahwalang Kabupaten Demak. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology, 3 (3) : 190-199.
Amriansyah, Umroh dan Kurniawan. 2015 . Analisis Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus Pelagicus) Menggunakan Bubu Lipat Di Muara Tebo Nelayan 1 Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka.Jurnal Sumberdaya Perairan, 9 (2) : 1-7
Iskandar, D. 2013 . Daya Tangkap Bubu Lipat Yang Dioperasikan Oleh Nelayan Tradisional Di Desa Mayangan Kabupaten Subang. Jurnal Saintek Perikanan, 8 (2) : 1-5.
Primyastanto, M. dan A. Muntaha . 2015 . Pengembangan Agribisnis Rajungan Pada Kelompok Usaha Pengolahan Rajungan Rakyat Di Kabupaten Pasuruan. Journal Of Inovation And Applied Technology, 1 (2) : 144-150.
Setiyowati, D. 2016 . Kajian Stok Rajungan (Portunus Pelagicus) Di Perairan Laut Jawa, Kabupaten Jepara. Journal disprotek, 7(1) : 84-97.
Terimakasih telah membaca makalah Penggunaan Alat Tangkap Bubu Lipat Dalam Usaha Penangkapan Rajungan ( Portunuspelagicus), silahkan share jika dirasa ini bermanfaat.