Pengimplementasian Konsep Blue Economy Dalam Konservasi
Karya Tulis tentang PENGIMPLEMENTASIAN KONSEP BLUE ECONOMY DALAM MEWUJUDKAN KONSERVASI YANG MENYEJAHTERAKAN
Dalam Rangka Peran Konsevasi Perairan Untuk Keberlanjutan Sumber daya Perikanan
Pengimplementasian Konsep Blue Economy Dalam Konservasi
Pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan tidak akan terlepas dari fungsi konservasinya, dimana semakin baik pengelolaan suatu wilayah konservasi maka sumber daya perikanan dan kelautan pada wilayah tersebut juga akan semakin baik. Konservasi berperan penting dalam menyelamatkan potensi sumber daya, supaya tetap tersedia dan dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan serta menyejahterakan masyarakat. Wilayah konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil sudah seharusnya dikelola secara efektif karena hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan dapat memberikan jaminan sebagai sumber yang tepat dalam menyokong pemanfaatan sumber daya secara ramah lingkungan dan memberi manfaat bagi perekonomian masyarakat lokal.Manfaat konservasi secara nyata dapat meningkatkan produksi perikanan tangkap, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik seperti spill-over, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, sehingga mampu mencegah kolapsnya hasil penangkapan ikan. Kawasan konservasi yang dikelola secara konsisten dalam beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan yang berada di luar kawasan. Hasil kajian menyatakan bahwa produksi larva akan meningkat karena adanya upaya perlindungan terhadap 20 - 30% luasan habitat penting di kawasan konservasi.
Selama ini, paradigma yang digunakan dalam pengelolaan sumber daya ikan cenderung lebih mengacu pada aspek ekonomi dalam bentuk angka, sehingga menyebabkan aspek penting lain seperti aspek kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan lebih dikesampingkan. Paradigma yang keliru tersebut menyebabkan terjadinya pengeksploitasian sumberdaya ikan secara berlebihan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya, yaitu semakin berkurangnya sumberdaya ikan akibat terjadinya over fishing. permasalahan konservasi merupakan masalah yang sulit untuk diatasi. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai macam peraturan serta kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009 yang seharusnya berfungsi penting sebagai penjaga nilai strategis wilayah konservasi untuk menselaraskan pembangunan dengan pelestarian hingga saat inipun belum dapat berfungsi maksimal dalam menyelesaikan permasalahan konservasi yang terjadi. Adapun salah satu permasalahan tersebut, seperti semakin berkurangnya potensi sumberdaya dan rusaknya lingkungan perairan akibat kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan serta pencemaran yang terjadi di kawasan konservasi
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Brahmantya Satyamurti Poerwadi,selama kurun waktu tiga puluh tahun Indonesia melakukan konservasi perairan pesisir dan pulalu-pulau kecil, terdapat banyak capaian yang berhasil ditorehkan dan berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun meski demikian, capaian yang ditorehkan tidak hanya bersifat positif saja, melainkan juga negatif. Di antara hal negatif yang muncul setelah konservasi dilaksanakan adalah semakin tingginya ancaman kerusakan terhadap ekosistem laut di Indonesia. Ancaman yang dirasakan Indonesia sekarang, merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data yang dirilis Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2016 didapatkan data bahwa terumbu karang yang kondisinya sangat baik di Indonesia tinggal 5,32 persen. Sementara, lebih dari 30 persen dinyatakan dalam kondisi kurang baik. Diantara ancaman yang terus meningkat itu, menurut dia, adalah semakin tingginya kegiatan penangkapan ikan yang berlebih dan merusak, pencemaran dari daerah aliran sungai (DAS), pembangunan pesisir yang tidak terencana, dan perubahan iklim merupakan faktor ancaman bagi kesehatan ekosistem laut
Sementara itu, Campaign and Mobilization Manager WWF Indonesia, Dewi Satriani menjelaskan, bahwa indonesia telah berhasil mewujudkan kawasan konservasi laut seluas 17 hektare, hal ini dianggap cukup baik apabila dilihat dari target luas wilayah konservasi laut Indonesia yang seluas 20 juta hektare pada tahun 2020 mendatang. Namun, keberhasilan tersebut tidak dapat dikatakan sepenuhnya berhasil karena dari total luasan tersebut, WWF Indonesia mencatat bahwa baru 10 persen di antaranya yang sudah berhasil dikelola dengan baik. Pengelolaan tersebut, dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kawasan yang sudah terkelola dengan baik, adalah kawasan yang sudah diawasi dengan rutin oleh pengelolan kawasan.Pengelolaan kawasan konservasi laut tidak dapat terlaksana dengan baik apabila hanya dikelola oleh satu pihak saja seperti pemerintah, hal tersebut membutuhkan peran dan kerjasama dari semua pihak termasuk masyarakat lokal dan para stakeholder
Minimnya peran serta masyarakat lokal dalam mengelola dan menjaga wilayah konservasi peraiaran, pesisir dan pulau-pulau kecil disinyalir terjadi karena adanya kekhawatiran akan berkurangnya akses nelayan dalam hal pemanfaatan sumberdaya perikanan, namun jika merujuk pada UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45 tahun 2009) dan PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, yang membagi zona konservasi perairan yang dapat dikembangkan menjadi 4 (empat) zona, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Serta pada UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah ubah dengan UU no 1 tahun 2014 juga mengatur zonasi di kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Aturan ini membagi kedalam 3 (tiga) zona, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan terbatas dan Zona lainnya, dimana dalam zona pemanfaatan terbatas dapat digunakan untuk pemanfaatan di bidang perikanan dan pariwisata. Perlu diketahui dahulu zona perikanan berkelanjutan tidak pernah diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi. Seiring dengan perkembangan desentralisasi, konservasi tidak lagi menjadi monopoli kewenangan pemerintah pusat saja, Pemerintah daerah juga diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya.
Sistem zonasi yang memberi ruang pemanfaatan untuk perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari serta kewenangan desentralisasi pengelolaan telah menjadi paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pengelolaan wilayah konservasi perairan dengan sistem zonasi justru sangat berpihak pada hak-hak masyarakat lokal yang bergantung pada sektor perikanan dan kelautan. Dalam hal ini masyarakat diberikan ruang pemanfaatan perikanan di dalam kawasan konservasi ( zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaataan dan zona lainnya), seperti untuk melakukan budidaya yang ramah lingkungan, penangkapan yang memperhatikan aspek kelestarian, pariwisata bahari dan sebagainya. Perubahan paradigma lama dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang bersifat sentralistik, tertutup, dan tidak melibatkan masyarakat lokal harus segera dapat berubah menjadi paradigma baru yang sangat menjunjung partisipasi bersama oleh semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat dalam hal mengelola kawasan konservasi.
Menanggapi hal tersebut, untuk itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat lokal di wilayah pesisir yang berguna untuk meningkatkan pemahaman serta partisipasi dalam pengelolaan wilayah konservasi.Tingkat pemahaman masyarakat akan pentingnya konservasi masih sangat kurang, hal ini dapat terjadi karena kurangnya keterpaparan informasi tentang pentingnya menjaga lingkungan dan wilayah konservasi. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai konservasi dapat terjadi karena masih sangat kurangnya penyuluhan dari dinas terkait[3].Dalam hal meningkatkan partisipasi masyarakat maka diperlukan suatu program yang secara nyata melibatkan masyarakat dalam mengelola dan menjaga wilayah konservasi agar tetap lestari. Pengimplementasian konsep blue economy (ekonomi biru) dirasa merupakan salah satu program yang tepat untuk mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang menyejahterakan masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu dibuka suatu forum diskusi yang dapat menghimpun aspirasi masyarakat dan menjadi penggerak dalam pelaksanaan program yang mendukung terciptanya suatu pengelolaan kawasan konservasi yang menyejahterakan masyarakat.
Adapun tujuan dari diadakanya program pengimplementasian konsep blue economy pada masyarakat adalah karena dalam pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat 3 poin penting yang tidak dapat diabaikan, yakni dampak terhadap ekosistem, kepentingan sosial ekonomi masyarakat dan kebijakan ekonomi. Poin- poin tersebut harus berjalan selaras supaya tercapai suatu kawasan konservasi yang menyejahterkan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya dan pendekatan yang inovatif dan integratif dalam rangka untuk menyelamatkan kondisi ekologi serta menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Blue economy sendiri merupakan suatu istilah yang digunakan dalam pendekatan pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem. istilah blue economy berlandaskan pada integrasi tiga pilar, yakni pilar ekosistem, pilar ekonomi dan pilar sosial. Konsep ini mulai diterapkan di indonesia sejak tahun 2013. Pengimplementasian konsep blue economy diharapkan dapat memaksimalkan potensi perikanan dan kelautan di indonesia, mengingat sebagian besar wilayah indonesia merupakan lautan yang sangat kaya akan sumberdaya laut serta meningkatkan pendapatan negara. Adanya pengelolaan laut yang berkelanjutan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan menciptakan kemakmuran masyarakat indonesia
Poin utama dari konsep blue economy adalah kegiatan yang proekosistem. Pengelolaan limbah yang baik merupakan kunci utama dari konsep ini, dimana dalam setiap kegiatan perikanan segala bentuk limbah keluaran harus berada dalam kondisi yang tidak mencemari tanah maupun perairan umum. Iimbah kimia maupun organik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada habitat dan kehidupan ekosistem, oleh karena itu diperlukan ilmu dan teknologi dalam men-treatment keluaran limbah. Blue economy sebagai konsep baru pembangunan kelautan dan perikanan akan diarahkan pada pembangunan ekonomi yang seimbang antara pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dengan upaya pengelolaan lingkungan secara optimal dan berkelanjutan[4].Blue economy merupakan rangkaian pendekatan kegiatan ekonomi yang meliputi aktifitas yang ramah lingkungan, berkelanjutan, multi produk, sistem produksi bersiklus, minimum buangan dengan menekankan pada aspek inovasi berwawasan ekosistem-sains dan teknologi, keterlibatan masyarakat melalui transfer pengetahuan, praktek kewirausahaan untuk membangun ekonomi lokal menuju pengetasan kemiskinan
Konsep blue economy bergerak pada dunia usaha yang dijalankan secara bersama-sama oleh pemerintah yang berperan sebagai investor pada bidang infrastruktur dan pemberi insentif bagi penciptan inovasi dala pengelolaan sumberdaya yang ramah lingkungan. Blue economy juga dapat dilihat sebagai tindakan yang bertumpu pada pengembangan ekonomi rakyat secara komprehensif guna mencapai pembangunan nasional secara keseluruhan. Pendekatan pembangunan berbasis ekonomi biru akan bersinergi dengan pelaksanaan triple track strategy, yaitu program pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-growth (pertumbuhan), projob (penyerapan tenaga kerja) dan pro-environtment (melestarikan lingkungan). Ketika daya dukung (sumber daya) alam dan daya tampung lingkungan sudah tidak seimbang dan tidak kuat lagi dalam menampung dan memfasilitasi kegiatan penduduk (kualitas, kuantitas, dan mobilitas penduduk), maka otomatis kehidupan kita dan kehidupan generasi mendatang akan terancam karena kesalahan kita akibat kerusakan lingkungan
Oleh karena itu, Implementasi konsep blue economy harus selalu ada pada setiap pemanfaatan kawasan konservasi perairan, karena pengimplementasian konsep tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan aspek kelestarian lingkunagan kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi perairan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti penelitian, pendidikan lingkungan, pariwisata bahari maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan tidak melupakan fungsi kawasan konservasi yang sesungguhnya.
Pengimplementasian blue economy pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan pembentukan mina wisata,yakni pemberdayaan masyarakat lokal dengan program penyerapan tenaga kerja lokal, pemanfaatan sampah yang dapat didaur ulang menjadi souvenir, pengembangan industri rumah tangga dan inovasi teknologi serta energi yang ramah lingkungan. Penerapan konsep blue economy diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis dengan prinsip pengolahan zero waste. Hal tersebut akan menumbuhkan suatu peluang usaha baru, yang dalam keberjalanannya tidak menimbulkan limbah sehingga antara keberlangsungan usaha dengan kelestarian sumberdaya tetap berjalanan berdampingan dan terjamin.
Daftar pustaka
R. dan S. koeshendrajana Pramoda, “Kebijakan pengelolaan konservasi kelautan dan perikanan 1,” J. Borneo Adm., 2012.
M. Ambari, “30 Tahun Konservasi di Laut, Ancaman Kerusakan Ekosistem Semakin Tinggi, Kenapa?,” Mongabay.Co.Id, 2017.
M. A. Rahajeng, B. Hendrarto, and F. Purwanti, “Pengetahuan, persepsi, dan partisipasi masyarakat dalam konservasi di kawasan cagar alam pulau sempu kabupaten malang,” Diponegoro J. Maquares, vol. 3, no. 4, pp. 109–118, 2014.
L. Sukarniati and R. Khoirudin, “Jurnal Ekonomi Pembangunan Analisis Kelembagaan Penerapan Konsep Blue Economy pada Tambak Udang ( Studi Kasus di Dusun Ngentak Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul ),” vol. 3, no. 2, pp. 52–65, 2017.
A. F. llma, Nijma, “Blue Economy: Keseimbangan Perspektif Ekonomi dan Lingkungan,” JIEP. J. Ilmu Ekon. dan Pembang., vol. 14, no. 1, pp. 70–79, 2014.